Berdasarkan laporan BBC tanggal 23 Juni, sejak invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, negara tersebut telah diserang oleh sanksi global secara menyeluruh. Meskipun demikian, data resmi menunjukkan bahwa ekonomi Rusia tumbuh sebesar 4,3% pada tahun 2024. Pertumbuhan ini melampaui semua negara G7, yaitu Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh peningkatan pengeluaran militer dan ekspor minyak yang konsisten. Jaringan tanker "armada bayangan" juga membantu untuk menghindari sanksi pengiriman minyak terhadap Rusia. Semua ini bersama-sama membantu melanjutkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut dalam setahun terakhir.
Inflasi Rusia dan Kekurangan Tenaga Kerja Menyebabkan Kenaikan Suku Bunga
Tampilan ekonomi Rusia semakin tidak pasti dan rumit. Tingkat inflasi Rusia mencapai 9,9% pada tahun hingga April 2025. Inflasi tinggi sebagian disebabkan oleh meningkatnya harga impor akibat sanksi Barat. Kekurangan tenaga kerja juga menjadi faktor, dengan diperkirakan 2,6 juta pekerja dilaporkan tidak hadir. Banyak yang telah mendaftar ke militer atau melarikan diri untuk menghindari wajib militer. Bank sentral telah menaikkan suku bunga menjadi sekitar 20% untuk melawan inflasi. Kenaikan ini membuat biaya pinjaman menjadi lebih tinggi dan mengurangi investasi bisnis.
Para ekonom menawarkan pandangan yang berbeda mengenai masa depan ekonomi Rusia di tengah tekanan ini. Yevgeny Nadorshin, seorang ekonom Moskow, mengatakan kepada BBC News bahwa negara itu menghadapi "situasi yang cukup tidak nyaman hingga akhir 2026." Namun, dia menolak klaim tentang keruntuhan ekonomi total. Tingkat pengangguran Rusia berada pada level terendah yang historis yaitu 2,3%. Nadorshin memperkirakan kenaikan moderat menjadi 3,5% tahun depan. Dia mengatakan, "Tanpa keraguan, ekonomi Rusia telah mengalami resesi yang lebih dalam daripada ini." Meskipun demikian, dia memprediksi lebih banyak gagal bayar dan kebangkrutan seiring melambatnya pertumbuhan dan meningkatnya suku bunga.
Penurunan Pendapatan Minyak Berkontribusi pada Perluasan Defisit Anggaran
Keuangan publik Rusia menghadapi tekanan yang semakin meningkat akibat menurunnya pendapatan energi. Angka resmi menunjukkan pendapatan minyak dan gas turun 35% tahun-ke-tahun pada Mei 2025. Hal ini membuat defisit anggaran semakin melebar. Pemerintah memprioritaskan belanja militer dibandingkan pengeluaran infrastruktur. Analis politik András Tóth-Czifra mengatakan, “Mereka memiliki pot besar untuk pengeluaran militer yang tidak bisa disentuh.” Ini merugikan kualitas layanan publik dan pemeliharaan infrastruktur.
Sanksi Barat Mengganggu Industri Kunci dan Membatasi Prospek Pertumbuhan
Sanksi juga membatasi akses ekonomi Rusia ke pasar dan teknologi asing, merusak industri-industri kunci. Uni Eropa melarang impor batubara dan berencana untuk mengakhiri impor gas Rusia pada tahun 2027. Tóth-Czifra mengatakan bahwa langkah-langkah semacam itu mungkin tidak memiliki efek langsung pada pengeluaran militer. Namun, mereka menghambat diversifikasi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tantangan-tantangan ini membuat masa depan Rusia setelah perang lebih sulit secara finansial. Sanksi-sanksi ini merestrukturisasi basis industri dan sektor energi negara tersebut.
Kremlin Mempertahankan Optimisme Meskipun Risiko Ekonomi Jangka Panjang
Meskipun menghadapi kesulitan, Kremlin menekankan bahwa kekuatan dan stabilitas ekonomi Rusia tetap utuh. Juru bicara Dmitry Peskov menyatakan pada Juni 2025 bahwa "stabilitas makroekonomi" dan "kekuatan dasar" terus berlanjut. Namun, para ahli seperti Dr. Katja Yafimava dari Oxford menyoroti tantangan yang terus ada. Dia mengatakan, "Sangat sulit untuk melihat kembalinya Eropa yang besar dalam membeli minyak dan gas Rusia." Perang ini kemungkinan akan menyebabkan kerusakan ekonomi yang berkepanjangan bagi Rusia. Pemerintah menghadapi pilihan yang terbatas untuk mengatasi tekanan yang semakin meningkat ini.
Lihat Asli
Konten ini hanya untuk referensi, bukan ajakan atau tawaran. Tidak ada nasihat investasi, pajak, atau hukum yang diberikan. Lihat Penafian untuk pengungkapan risiko lebih lanjut.
Ekspansi Ekonomi Rusia Terancam Saat Inflasi dan Bunga Meningkat
Berdasarkan laporan BBC tanggal 23 Juni, sejak invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, negara tersebut telah diserang oleh sanksi global secara menyeluruh. Meskipun demikian, data resmi menunjukkan bahwa ekonomi Rusia tumbuh sebesar 4,3% pada tahun 2024. Pertumbuhan ini melampaui semua negara G7, yaitu Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh peningkatan pengeluaran militer dan ekspor minyak yang konsisten. Jaringan tanker "armada bayangan" juga membantu untuk menghindari sanksi pengiriman minyak terhadap Rusia. Semua ini bersama-sama membantu melanjutkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut dalam setahun terakhir.
Inflasi Rusia dan Kekurangan Tenaga Kerja Menyebabkan Kenaikan Suku Bunga
Tampilan ekonomi Rusia semakin tidak pasti dan rumit. Tingkat inflasi Rusia mencapai 9,9% pada tahun hingga April 2025. Inflasi tinggi sebagian disebabkan oleh meningkatnya harga impor akibat sanksi Barat. Kekurangan tenaga kerja juga menjadi faktor, dengan diperkirakan 2,6 juta pekerja dilaporkan tidak hadir. Banyak yang telah mendaftar ke militer atau melarikan diri untuk menghindari wajib militer. Bank sentral telah menaikkan suku bunga menjadi sekitar 20% untuk melawan inflasi. Kenaikan ini membuat biaya pinjaman menjadi lebih tinggi dan mengurangi investasi bisnis.
Para ekonom menawarkan pandangan yang berbeda mengenai masa depan ekonomi Rusia di tengah tekanan ini. Yevgeny Nadorshin, seorang ekonom Moskow, mengatakan kepada BBC News bahwa negara itu menghadapi "situasi yang cukup tidak nyaman hingga akhir 2026." Namun, dia menolak klaim tentang keruntuhan ekonomi total. Tingkat pengangguran Rusia berada pada level terendah yang historis yaitu 2,3%. Nadorshin memperkirakan kenaikan moderat menjadi 3,5% tahun depan. Dia mengatakan, "Tanpa keraguan, ekonomi Rusia telah mengalami resesi yang lebih dalam daripada ini." Meskipun demikian, dia memprediksi lebih banyak gagal bayar dan kebangkrutan seiring melambatnya pertumbuhan dan meningkatnya suku bunga.
Penurunan Pendapatan Minyak Berkontribusi pada Perluasan Defisit Anggaran
Keuangan publik Rusia menghadapi tekanan yang semakin meningkat akibat menurunnya pendapatan energi. Angka resmi menunjukkan pendapatan minyak dan gas turun 35% tahun-ke-tahun pada Mei 2025. Hal ini membuat defisit anggaran semakin melebar. Pemerintah memprioritaskan belanja militer dibandingkan pengeluaran infrastruktur. Analis politik András Tóth-Czifra mengatakan, “Mereka memiliki pot besar untuk pengeluaran militer yang tidak bisa disentuh.” Ini merugikan kualitas layanan publik dan pemeliharaan infrastruktur.
Sanksi Barat Mengganggu Industri Kunci dan Membatasi Prospek Pertumbuhan
Sanksi juga membatasi akses ekonomi Rusia ke pasar dan teknologi asing, merusak industri-industri kunci. Uni Eropa melarang impor batubara dan berencana untuk mengakhiri impor gas Rusia pada tahun 2027. Tóth-Czifra mengatakan bahwa langkah-langkah semacam itu mungkin tidak memiliki efek langsung pada pengeluaran militer. Namun, mereka menghambat diversifikasi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tantangan-tantangan ini membuat masa depan Rusia setelah perang lebih sulit secara finansial. Sanksi-sanksi ini merestrukturisasi basis industri dan sektor energi negara tersebut.
Kremlin Mempertahankan Optimisme Meskipun Risiko Ekonomi Jangka Panjang
Meskipun menghadapi kesulitan, Kremlin menekankan bahwa kekuatan dan stabilitas ekonomi Rusia tetap utuh. Juru bicara Dmitry Peskov menyatakan pada Juni 2025 bahwa "stabilitas makroekonomi" dan "kekuatan dasar" terus berlanjut. Namun, para ahli seperti Dr. Katja Yafimava dari Oxford menyoroti tantangan yang terus ada. Dia mengatakan, "Sangat sulit untuk melihat kembalinya Eropa yang besar dalam membeli minyak dan gas Rusia." Perang ini kemungkinan akan menyebabkan kerusakan ekonomi yang berkepanjangan bagi Rusia. Pemerintah menghadapi pilihan yang terbatas untuk mengatasi tekanan yang semakin meningkat ini.