Hong Kong, pusat keuangan global dan pintu gerbang ke Tiongkok, telah diguncang oleh skandal cryptocurrency besar-besaran yang melibatkan JPEX. Pertukaran mata uang kripto yang berbasis di Dubai diduga menipu ribuan investor hingga lebih dari $160 juta. Kasus ini mengungkap kesenjangan peraturan dalam industri mata uang kripto yang baru lahir di Hong Kong, kurangnya perlindungan investor, dan risiko mengandalkan influencer media sosial untuk mempromosikan platform yang tidak berlisensi.
JPEX adalah singkatan dari Japan Exchange dan mengklaim sebagai bursa mata uang kripto pertama di dunia yang menawarkan dividen kepada penggunanya. Ia juga telah menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga besar seperti HSBC, Standard Chartered Bank dan Alibaba. Perusahaan ini memikat investor dengan janji keuntungan tinggi dan biaya rendah, serta menggunakan taktik pemasaran agresif seperti papan reklame, iklan online, dan dukungan influencer.
Influencer yang mempromosikan JPEX termasuk Joseph Lam, seorang pengacara yang menjadi penjual asuransi yang menyebut dirinya "raja troll" Hong Kong, dan selebriti YouTube Chan Yee, yang memiliki 200.000 pelanggan. Mereka menunjukkan kepada pengikutnya bagaimana keuntungan Bitcoin dapat membantu mereka membeli rumah dan mobil, dan mendorong mereka untuk mendaftar ke JPEX menggunakan kode referensi.
Namun, keadaan mulai menjadi tidak beres pada bulan September 2023, ketika JPEX mengumumkan bahwa mereka menghadapi “kekurangan likuiditas” dan menangguhkan penarikan. Banyak investor tidak dapat mengakses dana atau menghubungi layanan pelanggan platform. Beberapa pihak juga menemukan bahwa JPEX telah beroperasi tanpa izin dari Komisi Sekuritas dan Berjangka (SFC) Hong Kong, yang mengatur platform perdagangan aset virtual.
Komisi Sekuritas dan Berjangka mengungkapkan bahwa mereka telah mengeluarkan surat peringatan kepada JPEX pada Juni 2023, yang mengharuskannya menghentikan aktivitasnya di Hong Kong atau mengajukan izin. Namun JPEX mengabaikan surat tersebut dan terus beroperasi secara ilegal. Komisi Sekuritas dan Berjangka juga mengatakan pihaknya tidak memiliki yurisdiksi atas operasi JPEX yang terdaftar di Dubai.
Polisi Hong Kong meluncurkan penyelidikan terhadap JPEX setelah menerima pengaduan dari lebih dari 2.000 investor yang mengklaim kerugian sebesar HK$1,3 miliar ($166 juta). Polisi menangkap 11 orang termasuk Lin dan Chen atas dugaan penipuan, pencucian uang, dan konspirasi untuk melakukan penipuan. Polisi juga menyita komputer, ponsel, kartu bank dan dokumen dari kediaman tersangka.
Kasus ini memicu kemarahan publik dan menimbulkan pertanyaan tentang kerangka peraturan Hong Kong untuk aset kripto. Hong Kong telah berusaha memposisikan dirinya sebagai pusat inovasi dan teknologi global, terutama setelah diberlakukannya undang-undang keamanan nasional pada tahun 2020 yang mengikis otonomi dan kebebasan kota tersebut. Pada bulan November 2020, Komisi Regulasi Sekuritas Tiongkok mengumumkan sistem perizinan baru untuk platform perdagangan aset virtual guna memperkuat perlindungan investor dan memerangi aktivitas pencucian uang.
Sistem ini baru akan berlaku pada Juni 2023, menyisakan jeda lebih dari enam bulan untuk platform yang tidak diatur seperti JPEX. Selain itu, rezim ini hanya mencakup platform yang memperdagangkan setidaknya satu token keamanan, sebuah aset kripto yang mewakili kepemilikan atau hak dalam aset atau bisnis yang mendasarinya. Platform yang hanya memperdagangkan token non-keamanan, seperti Bitcoin atau Ethereum, tidak memerlukan lisensi SEC.
Ini berarti sebagian besar pasar mata uang kripto Hong Kong masih belum diatur. Menurut CoinMarketCap, saat ini ada lebih dari 11,000 aset kripto yang beredar, dengan total kapitalisasi pasar lebih dari $2 triliun. Banyak dari aset ini sangat fluktuatif dan spekulatif; beberapa di antaranya mungkin palsu atau ilegal.
Kasus JPEX juga menyoroti bahayanya mempercayai influencer media sosial yang mendukung produk atau platform kripto tanpa pengungkapan atau uji tuntas yang tepat. Influencer mungkin memiliki motif tersembunyi atau konflik kepentingan ketika mempromosikan platform atau token tertentu. Mereka mungkin juga kurang memiliki keahlian atau kredibilitas untuk memberikan informasi yang akurat atau dapat diandalkan mengenai risiko dan manfaat berinvestasi di aset kripto.
Investor harus mewaspadai platform atau produk apa pun yang menjanjikan keuntungan atau jaminan yang tidak realistis tanpa mengungkapkan risiko yang ada. Mereka juga harus melakukan penelitian sendiri dan memverifikasi kredensial dan reputasi platform atau produk apa pun yang ingin mereka gunakan. Mereka juga harus memeriksa apakah platform atau produk tersebut dilisensikan atau diatur oleh otoritas mana pun di Hong Kong atau di tempat lain.
Kasus JPEX juga menarik perhatian pada peran Dubai sebagai surga mata uang kripto bagi operator yang dipertanyakan. Dubai, bagian dari Uni Emirat Arab (UEA), selalu menarik bisnis mata uang kripto dengan pajaknya yang rendah, peraturan yang longgar, dan sikap ramah.
Dubai tidak memiliki undang-undang atau kewenangan khusus untuk mengatur aset kripto, juga tidak mewajibkan platform kripto untuk dilisensikan atau didaftarkan pada lembaga mana pun. Dubai juga tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong, sehingga menyulitkan pihak berwenang untuk mengejar JPEX atau pendirinya.
Namun, sikap Dubai yang ramah terhadap kripto mungkin mengorbankan reputasi dan keamanannya. Dubai mungkin menarik penipu, peretas, dan teroris yang menggunakan aset kripto untuk menghindari sanksi, mencuci uang, atau mendanai aktivitas ilegal.
Lihat Asli
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
Skandal Cryptocurrency JPEX Mengguncang Reputasi Hong Kong
Hong Kong, pusat keuangan global dan pintu gerbang ke Tiongkok, telah diguncang oleh skandal cryptocurrency besar-besaran yang melibatkan JPEX. Pertukaran mata uang kripto yang berbasis di Dubai diduga menipu ribuan investor hingga lebih dari $160 juta. Kasus ini mengungkap kesenjangan peraturan dalam industri mata uang kripto yang baru lahir di Hong Kong, kurangnya perlindungan investor, dan risiko mengandalkan influencer media sosial untuk mempromosikan platform yang tidak berlisensi.
JPEX adalah singkatan dari Japan Exchange dan mengklaim sebagai bursa mata uang kripto pertama di dunia yang menawarkan dividen kepada penggunanya. Ia juga telah menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga besar seperti HSBC, Standard Chartered Bank dan Alibaba. Perusahaan ini memikat investor dengan janji keuntungan tinggi dan biaya rendah, serta menggunakan taktik pemasaran agresif seperti papan reklame, iklan online, dan dukungan influencer.
Influencer yang mempromosikan JPEX termasuk Joseph Lam, seorang pengacara yang menjadi penjual asuransi yang menyebut dirinya "raja troll" Hong Kong, dan selebriti YouTube Chan Yee, yang memiliki 200.000 pelanggan. Mereka menunjukkan kepada pengikutnya bagaimana keuntungan Bitcoin dapat membantu mereka membeli rumah dan mobil, dan mendorong mereka untuk mendaftar ke JPEX menggunakan kode referensi.
Namun, keadaan mulai menjadi tidak beres pada bulan September 2023, ketika JPEX mengumumkan bahwa mereka menghadapi “kekurangan likuiditas” dan menangguhkan penarikan. Banyak investor tidak dapat mengakses dana atau menghubungi layanan pelanggan platform. Beberapa pihak juga menemukan bahwa JPEX telah beroperasi tanpa izin dari Komisi Sekuritas dan Berjangka (SFC) Hong Kong, yang mengatur platform perdagangan aset virtual.
Komisi Sekuritas dan Berjangka mengungkapkan bahwa mereka telah mengeluarkan surat peringatan kepada JPEX pada Juni 2023, yang mengharuskannya menghentikan aktivitasnya di Hong Kong atau mengajukan izin. Namun JPEX mengabaikan surat tersebut dan terus beroperasi secara ilegal. Komisi Sekuritas dan Berjangka juga mengatakan pihaknya tidak memiliki yurisdiksi atas operasi JPEX yang terdaftar di Dubai.
Polisi Hong Kong meluncurkan penyelidikan terhadap JPEX setelah menerima pengaduan dari lebih dari 2.000 investor yang mengklaim kerugian sebesar HK$1,3 miliar ($166 juta). Polisi menangkap 11 orang termasuk Lin dan Chen atas dugaan penipuan, pencucian uang, dan konspirasi untuk melakukan penipuan. Polisi juga menyita komputer, ponsel, kartu bank dan dokumen dari kediaman tersangka.
Kasus ini memicu kemarahan publik dan menimbulkan pertanyaan tentang kerangka peraturan Hong Kong untuk aset kripto. Hong Kong telah berusaha memposisikan dirinya sebagai pusat inovasi dan teknologi global, terutama setelah diberlakukannya undang-undang keamanan nasional pada tahun 2020 yang mengikis otonomi dan kebebasan kota tersebut. Pada bulan November 2020, Komisi Regulasi Sekuritas Tiongkok mengumumkan sistem perizinan baru untuk platform perdagangan aset virtual guna memperkuat perlindungan investor dan memerangi aktivitas pencucian uang.
Sistem ini baru akan berlaku pada Juni 2023, menyisakan jeda lebih dari enam bulan untuk platform yang tidak diatur seperti JPEX. Selain itu, rezim ini hanya mencakup platform yang memperdagangkan setidaknya satu token keamanan, sebuah aset kripto yang mewakili kepemilikan atau hak dalam aset atau bisnis yang mendasarinya. Platform yang hanya memperdagangkan token non-keamanan, seperti Bitcoin atau Ethereum, tidak memerlukan lisensi SEC.
Ini berarti sebagian besar pasar mata uang kripto Hong Kong masih belum diatur. Menurut CoinMarketCap, saat ini ada lebih dari 11,000 aset kripto yang beredar, dengan total kapitalisasi pasar lebih dari $2 triliun. Banyak dari aset ini sangat fluktuatif dan spekulatif; beberapa di antaranya mungkin palsu atau ilegal.
Kasus JPEX juga menyoroti bahayanya mempercayai influencer media sosial yang mendukung produk atau platform kripto tanpa pengungkapan atau uji tuntas yang tepat. Influencer mungkin memiliki motif tersembunyi atau konflik kepentingan ketika mempromosikan platform atau token tertentu. Mereka mungkin juga kurang memiliki keahlian atau kredibilitas untuk memberikan informasi yang akurat atau dapat diandalkan mengenai risiko dan manfaat berinvestasi di aset kripto.
Investor harus mewaspadai platform atau produk apa pun yang menjanjikan keuntungan atau jaminan yang tidak realistis tanpa mengungkapkan risiko yang ada. Mereka juga harus melakukan penelitian sendiri dan memverifikasi kredensial dan reputasi platform atau produk apa pun yang ingin mereka gunakan. Mereka juga harus memeriksa apakah platform atau produk tersebut dilisensikan atau diatur oleh otoritas mana pun di Hong Kong atau di tempat lain.
Kasus JPEX juga menarik perhatian pada peran Dubai sebagai surga mata uang kripto bagi operator yang dipertanyakan. Dubai, bagian dari Uni Emirat Arab (UEA), selalu menarik bisnis mata uang kripto dengan pajaknya yang rendah, peraturan yang longgar, dan sikap ramah.
Dubai tidak memiliki undang-undang atau kewenangan khusus untuk mengatur aset kripto, juga tidak mewajibkan platform kripto untuk dilisensikan atau didaftarkan pada lembaga mana pun. Dubai juga tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong, sehingga menyulitkan pihak berwenang untuk mengejar JPEX atau pendirinya.
Namun, sikap Dubai yang ramah terhadap kripto mungkin mengorbankan reputasi dan keamanannya. Dubai mungkin menarik penipu, peretas, dan teroris yang menggunakan aset kripto untuk menghindari sanksi, mencuci uang, atau mendanai aktivitas ilegal.